Anom Putra, seorang pria berusia tiga puluhan dengan wajah yang menggambarkan banyak cerita hidup, duduk sendirian di sebuah kafe kecil di sudut kota. Hujan deras di luar jendela membuat suasana semakin sendu, namun Anom menikmati setiap detiknya. Secangkir kopi hitam yang mengepul di depannya adalah satu-satunya teman setia di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sering kali terasa hampa.
Anom adalah seorang penulis lepas yang sering kali mencari inspirasi di tempat-tempat yang tidak biasa. Kafe ini adalah salah satunya. Dengan dinding berwarna krem yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak dan alunan musik jazz yang lembut, tempat ini selalu memberinya ketenangan yang dia butuhkan untuk menulis.
Namun, hari itu berbeda. Di sudut ruangan, seorang wanita muda yang tidak pernah dia lihat sebelumnya duduk sendirian, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Rambutnya yang panjang tergerai, basah oleh hujan. Anom merasa ada sesuatu yang aneh dan misterius dari wanita itu. Tanpa disadari, dia terus memperhatikan wanita tersebut.
Ketika pelayan kafe menghampiri meja wanita itu dengan membawa secangkir teh hangat, Anom melihat wanita itu tersenyum tipis. Senyum itu terlihat sangat pahit dan penuh beban. Ada sesuatu dalam senyum itu yang menggerakkan hati Anom. Tanpa berpikir panjang, dia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju meja wanita itu.
"Permisi, boleh aku duduk di sini?" tanya Anom dengan suara lembut. Wanita itu menoleh dan menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan.
"Silakan," jawabnya singkat.
Anom duduk dan memperkenalkan diri. "Namaku Anom Putra."
Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya memperkenalkan diri. "Aku Rina."
Percakapan mereka dimulai dengan canggung, namun seiring berjalannya waktu, Anom merasa ada ikatan yang kuat antara dirinya dan Rina. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kehidupan sehari-hari hingga mimpi-mimpi yang pernah mereka miliki. Rina bercerita tentang masa lalunya yang kelam, tentang kehilangan orang-orang yang dia cintai dan rasa kesepian yang selalu menghantui.
Anom mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan setiap kata yang keluar dari bibir Rina. Dia merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu wanita ini, meski dia sendiri belum tahu apa yang bisa dia lakukan.
Malam semakin larut, dan kafe mulai sepi. Anom menawarkan untuk mengantar Rina pulang, namun wanita itu menolak dengan halus.
"Aku lebih suka berjalan sendiri," katanya. "Tapi terima kasih sudah menemani malam ini."
Anom tersenyum. "Kau tidak sendiri, Rina. Aku akan menemanimu, sampai kapan pun kau butuhkan."
Rina hanya tersenyum tipis dan mengangguk sebelum akhirnya berjalan keluar kafe. Anom duduk kembali di mejanya, menatap secangkir kopi yang kini sudah dingin. Dia tahu, malam itu adalah awal dari sesuatu yang besar. Pertemuannya dengan Rina bukanlah kebetulan, dan dia siap menjalani apa pun yang akan datang.
Dengan hati yang penuh tekad, Anom memulai hari-hari barunya dengan sebuah tujuan: menemani Rina, sampai kapan pun dia membutuhkan.